Wednesday, August 3, 2011

Jangan Buat Puasa Kita Sia-sia

Di bulan Ramadhan ini setiap muslim memiliki kewajiban untuk menjalankan puasa dengan menahan lapar dan dahaga mulai dari fajar hingga terbenamnya matahari. Namun ada di antara kaum muslimin yang melakukan puasa, dia tidaklah mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga saja yang menghinggapi tenggorokannya. Inilah yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jujur lagi membawa berita yang benar,
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ
Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ath Thobroniy dalam Al Kabir dan sanadnya tidak mengapa. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1084 mengatakan bahwa hadits ini shohih ligoirihi -yaitu shohih dilihat dari jalur lainnya-)
Apa di balik ini semua? Mengapa amalan puasa orang tersebut tidak teranggap, padahal dia telah susah payah menahan dahaga mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari?
Saudaraku, agar engkau mendapatkan jawabannya, simaklah pembahasan berikut mengenai beberapa hal yang membuat amalan puasa seseorang menjadi sia-sia -semoga Allah memberi taufik pada kita untuk menjauhi hal-hal ini-.
1. Jauhilah Perkataan Dusta (az zuur)
Inilah perkataan yang membuat puasa seorang muslim bisa sia-sia, hanya merasakan lapar dan dahaga saja.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903)
Apa yang dimaksud dengan az zuur? As Suyuthi mengatakan bahwa az zuur adalah berkata dusta dan menfitnah (buhtan). Sedangkan mengamalkannya berarti melakukan perbuatan keji yang merupakan konsekuensinya yang telah Allah larang. (Syarh Sunan Ibnu Majah, 1/121, Maktabah Syamilah)
2. Jauhilah Perkataan lagwu (sia-sia) dan rofats (kata-kata porno)
Amalan yang kedua yang membuat amalan puasa seseorang menjadi sia-sia adalah perkataan lagwu dan rofats.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ
Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu dan rofats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1082 mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Apa yang dimaksud dengan lagwu? Dalam Fathul Bari (3/346), Al Akhfasy mengatakan,
اللَّغْو الْكَلَام الَّذِي لَا أَصْل لَهُ مِنْ الْبَاطِل وَشَبَهه
Lagwu adalah perkataan sia-sia dan semisalnya yang tidak berfaedah.”
Lalu apa yang dimaksudkan dengan rofats? Dalam Fathul Bari (5/157), Ibnu Hajar mengatakan,
وَيُطْلَق عَلَى التَّعْرِيض بِهِ وَعَلَى الْفُحْش فِي الْقَوْل
“Istilah Rofats digunakan dalam pengertian ‘kiasan untuk hubungan badan’ dan semua perkataan keji.”
Al Azhari mengatakan,
الرَّفَث اِسْم جَامِع لِكُلِّ مَا يُرِيدهُ الرَّجُل مِنْ الْمَرْأَة
“Istilah rofats adalah istilah untuk setiap hal yang diinginkan laki-laki pada wanita.” Atau dengan kata lain rofats adalah kata-kata porno.
Itulah di antara perkara yang bisa membuat amalan seseorang menjadi sia-sia. Betapa banyak orang yang masih melakukan seperti ini, begitu mudahnya mengeluarkan kata-kata kotor, dusta, sia-sia dan menggunjing orang lain.
3. Jauhilah Pula Berbagai Macam Maksiat
Ingatlah bahwa puasa bukanlah hanya menahan lapar dan dahaga saja, namun hendaknya seorang yang berpuasa juga menjauhi perbuatan yang haram. Perhatikanlah saudaraku petuah yang sangat bagus dari Ibnu Rojab Al Hambali berikut:
“Ketahuilah, amalan taqarrub (mendekatkan diri) pada Allah ta’ala dengan meninggalkan berbagai syahwat yang mubah ketika di luar puasa (seperti makan atau berhubungan badan dengan istri, -pen) tidak akan sempurna hingga seseorang mendekatkan diri pada Allah dengan meninggalkan perkara yang Dia larang yaitu dusta, perbuatan zholim, permusuhan di antara manusia dalam masalah darah, harta dan kehormatan.” (Latho’if Al Ma’arif, 1/168, Asy Syamilah)
Jabir bin ‘Abdillah menyampaikan petuah yang sangat bagus:
“Seandainya kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu turut berpuasa dari dusta dan hal-hal haram serta janganlah kamu menyakiti tetangga. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama saja.” (Lihat Latho’if Al Ma’arif, 1/168, Asy Syamilah)
Itulah sejelek-jelek puasa yaitu hanya menahan lapar dan dahaga saja, sedangkan maksiat masih terus dilakukan. Hendaknya seseorang menahan anggota badan lainnya dari berbuat maksiat. Ibnu Rojab mengatakan,
أَهْوَنُ الصِّيَامُ تَرْكُ الشَّرَابِ وَ الطَّعَامِ
“Tingkatan puasa yang paling rendah hanya meninggalkan minum dan makan saja.”
Itulah puasa kebanyakan orang saat ini. Ketika ramadhan dan di luar ramadhan, kondisinya sama saja. Maksiat masih tetap jalan. Betapa banyak kita lihat para pemuda-pemudi yang tidak berstatus sebagai suami-istri masih saja berjalan berduaan. Padahal berduaan seperti ini telah dilarang dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun hal ini tidak diketahui dan diacuhkan begitu saja oleh mereka.
Dari Ibnu Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ
Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali jika bersama mahramnya.” (HR. Bukhari, no. 5233)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ ، إِلاَّ مَحْرَمٍ
Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya. (HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shohih ligoirihi –shohih dilihat dari jalur lain-)
Apalagi dalam pacaran pasti ada saling pandang-memandang. Padahal Nabi kita –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah memerintahkan kita memalingkan pandangan dari lawan jenis. Namun, orang yang mendapat taufik dari Allah saja yang bisa menghindari semacam ini. Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.
Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku. (HR. Muslim no. 5770)
Kalau di luar Ramadhan, perbuatan maksiat semacam ini saja jelas-jelas dilarang maka tentu di bulan Ramadhan lebih tegas lagi pelarangannya. Semoga kita termasuk orang yang mendapat taufik dari Allah untuk menjauhi berbagai macam maksiat ini.
Apakah Dengan Berkata Dusta dan Melakukan Maksiat, Puasa Seseorang Menjadi Batal?
Untuk menjelaskan hal ini, perhatikanlah perkataan Ibnu Rojab berikut, “Mendekatkan diri pada Allah ta’ala dengan meninggalkan perkara yang mubah tidaklah akan sempurna sampai seseorang menyempurnakannya dengan meninggalkan perbuatan haram. Barangsiapa yang melakukan yang haram (seperti berdusta) lalu dia mendekatkan diri pada Allah dengan meninggalkan yang mubah (seperti makan di bulan Ramadhan), maka ini sama halnya dengan seseorang meninggalkan yang wajib lalu dia mengerjakan yang sunnah. Walaupun puasa orang semacam ini tetap dianggap sah menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama) yaitu orang yang melakukan semacam ini tidak diperintahkan untuk mengulangi (mengqodho’) puasanya. Alasannya karena amalan itu batal jika seseorang melakukan perbuatan yang dilarang karena sebab khusus dan tidaklah batal jika melakukan perbuatan yang dilarang yang bukan karena sebab khusus. Inilah pendapat mayoritas ulama.”
Ibnu Hajar dalam Al Fath (6/129) juga mengatakan mengenai hadits perkataan zuur (dusta) dan mengamalkannya:
“Mayoritas ulama membawa makna larangan ini pada makna pengharaman, sedangkan batalnya hanya dikhususkan dengan makan, minum dan jima’ (berhubungan suami istri).”
Mula ‘Ali Al Qori dalam Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih (6/308) berkata, “Orang yang berpuasa seperti ini sama keadaannya dengan orang yang haji yaitu pahala pokoknya (ashlu) tidak batal, tetapi kesempurnaan pahala yang tidak dia peroleh. Orang semacam ini akan mendapatkan ganjaran puasa sekaligus dosa karena maksiat yang dia lakukan.”
Kesimpulannya: Seseorang yang masih gemar melakukan maksiat di bulan Ramadhan seperti berkata dusta, memfitnah, dan bentuk maksiat lainnya yang bukan pembatal puasa, maka puasanya tetap sah, namun dia tidak mendapatkan ganjaran yang sempurna di sisi Allah. –Semoga kita dijauhkan dari melakukan hal-hal semacam ini-
Ingatlah Suadaraku Ada Pahala yang Tak Terhingga di Balik Puasa Kalian
Saudaraku, janganlah kita sia-siakan puasa kita dengan hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja. Marilah kita menjauhi berbagai hal yang dapat mengurangi kesempurnaan pahala puasa kita. Sungguh sangat merugi orang yang melewatkan ganjaran yang begitu melimpah dari puasa yang dia lakukan. Seberapa besarkah pahala yang melimpah tersebut? Mari kita renungkan bersama hadits berikut ini.
Dalam riwayat Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى »
Setiap amalan kebaikan anak Adam akan dilipatgandakan menjadi 10 hingga 700 kali dari kebaikan yang semisal. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya), “Kecuali puasa, amalan tersebut untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya karena dia telah meninggalkan syahwat dan makanannya demi Aku.” (HR. Muslim no. 1151)
Lihatlah saudaraku, untuk amalan lain selain puasa akan diganjar dengan 10 hingga 700 kali dari kebaikan yang semisal. Namun, lihatlah pada amalan puasa, khusus untuk amalan ini Allah sendiri yang akan membalasnya. Lalu seberapa besar balasan untuk amalan puasa? Agar lebih memahami maksud hadits di atas, perhatikanlah penjelasan Ibnu Rojab berikut ini:
“Hadits di atas adalah mengenai pengecualian puasa dari amalan yang dilipatgandakan menjadi 10 kebaikan hingga 700 kebaikan yang semisal. Khusus untuk puasa, tak terbatas lipatan ganjarannya dalam bilangan-bilangan tadi. Bahkan Allah ‘Azza wa Jalla akan melipatgandakan pahala orang yang berpuasa hingga bilangan yang tak terhingga. Alasannya karena puasa itu mirip dengan sabar. Mengenai ganjaran sabar, Allah ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dibalas dengan pahala tanpa batas.” (QS. Az Zumar [39]: 10). Bulan Ramadhan juga dinamakan dengan bulan sabar. Juga dalam hadits lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa adalah setengah dari kesabaran.” (HR. Tirmidzi, Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Al Jami’ Ash Shogir no. 2658 mengatakan bahwa hadits ini dho’if , -pen)
Sabar ada tiga macam yaitu sabar dalam menjalani ketaatan, sabar dalam menjauhi larangan dan sabar dalam menghadapi takdir Allah yang terasa menyakitkan. Dan dalam puasa terdapat tiga jenis kesabaran ini. Di dalamnya terdapat sabar dalam melakukan ketaatan, juga terdapat sabar dalam menjauhi larangan Allah yaitu menjauhi berbagai macam syahwat. Dalam puasa juga terdapat bentuk sabar terhadap rasa lapar, dahaga, jiwa dan badan yang terasa lemas. Inilah rasa sakit yang diderita oleh orang yang melakukan amalan taat, maka dia pantas mendapatkan ganjaran sebagaimana firman Allah ta’ala,
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لَا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلَا نَصَبٌ وَلَا مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ
Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. At Taubah [9]: 120).” -Demikianlah penjelasan Ibnu Rojab (dalam Latho’if Al Ma’arif, 1/168) yang mengungkap rahasia bagaimana puasa seseorang bisa mendapatkan ganjaran tak terhingga, yaitu karena di dalam puasa tersebut terdapat sikap sabar.-
Saudaraku, sekali lagi janganlah engkau sia-siakan puasamu. Janganlah sampai engkau hanya mendapat lapar dan dahaga saja, lalu engkau lepaskan pahala yang begitu melimpah dan tak terhingga di sisi Allah dari amalan puasamu tersebut.
Isilah hari-harimu di bulan suci ini dengan amalan yang bermanfaat, bukan dengan perbuatan yang sia-sia atau bahkan mengandung maksiat. Janganlah engkau berpikiran bahwa  karena takut berbuat maksiat dan perkara yang sia-sia, maka lebih baik diisi dengan tidur. Lihatlah suri tauladan kita memberi contoh kepada kita dengan melakukan banyak kebaikan seperti banyak berderma, membaca Al Qur’an, banyak berzikir dan i’tikaf di bulan Ramadhan. Manfaatkanlah waktumu di bulan yang penuh berkah ini dengan berbagai macam kebaikan dan jauhilah berbagai macam maksiat.
Semoga Allah memberi kita petunjuk, ketakwaan, kemampuan untuk menjauhi yang larang dan diberikan rasa kecukupan.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Jangan Biarkan Amalan Berlalu Sia-Sia

Salah satu tujuan utama dalam beramal adalah mendapat pahala dari Allah ta’alla, lantas bagaimana jika amalan yang sangat diharapkan sebagai tabungan diakherat ternyata ‘kopong’ alias sia-sia dan tak tertulis sabagai amalan?
Bagaimana mungkin amalan akan diterima tatkala kita tidak mengetahui cara agar amalan bisa diterima dan mendapat ridho dari Allah? Apalagi jika barometer kesuksesan dalam beramal tatkala mendapat pujian belaka. Tak dapat diragukan lagi walaupun lisan ini mengatakan ‘Aku ikhlas’ namun ikhlas tak semudah hanya ucapan saja dan malahan perlu dicek lagi arti keikhlasannya. Baiklah marilah kita berusaha mengetahui kaidah-kaidah dalam beramal agar amalan kita tidak sia-sia. Dan ingatlah tak ada satu detik waktupun menjadi sia-sia dan berakhir penyesalan jika segera diikuti dengan taubat dan membenahi cara beramal dengan benar.
Amalan tidak lepas dari 2 hal yaitu ikhlas dan ittiba’.
  1. Ikhlas adalah niat dalam beramal, dan ikhlas merupakan ruh bagi amalan. Dalilnya, “Sesungguhnya amal-amal itu tergantung dengan niat dan sesungguhnya setiap orang itu mendapatkan balasan sesuai dengan yang diniatkannya.” (Muttafaqun’alaihi)
  2. Yang kedua adalah ittiba’. Iittiba’ adalah amalan hendaknya dilakukan sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ittiba’ ini laksana jiwa bagi amalan. Allah ta’ala berfirman, “Kataknlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ali Imran:31)
Kedua syarat tersebut jangan sampai tercecer, karena jika salah satu syarat hilang maka ia tidak benar (bukan amal shalih) dan tidak akan diterima di sisi Allah, diantara dalil yang memperkuat pernyataan tersebut,
“…Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” (Qs. AL Kahfi: 110)
Tidak Ikhlas Namun Ittiba’
Misalnya, melakukan shalat sesuai dengan rukun-rukun shalat yang telah dicontohkan Rasulullah, namun ditengah perjalanan shalat tersebut, ada orang yang melihat dan hati timbul rasa ingin memperbagus gerakan, memperlama waktu shalat, dll. Nah inilah perlu dipertanyakan keikhlasan shalatnya. Apakah shalat hanya mengharap wajah Allah ataukah disertai pula mengharap pujian orang lain?
Ikhlas Namun Tidak Ittiba’
Misalnya, mencari berkah dikuburan, mengkhususkan membaca surat yasin selama 7 hari setelah kematian. Mungkin mereka ikhlas melakukannya, namun sayangnya tidak ada contoh dari Rasulullah dan perbuatan tersebut bisa dikatakan bid’ah.
Pada artikel ini penulis akan lebih memperinci mengenai syarat yang pertama yaitu berkaitan dengan keikhlasan. Hendaknya dalam beramal selain mengetahui syarat-syarat beramal juga mengetahui bagaimana caranya agar dapat mewujudkan syarat-syarat tersebut dengan mudah.
Untuk mewujudkan keikhlasan dalam beramal ada beberapa cara :
  1. Do’a. Berdo’alah agar setiap amalan ikhlas karena Allah. Sebagai manusia tak lepas dari riya’, pamer dan suka dipuji. Khalifah besar seperti Umar Ibnul Khattab radhiyallahu’anhum yang merupakan shahabat Rasul dan sudah dijanjikan surga kepadanya  pun masih saja berdoa agar ikhlas dalam beramal. “Ya Allah jadikanlah amalku shalih semuanya dan jadikanlah ia ikhlas karena-Mu dan janganlah Engkau jadikan untuk seseorang dari amal itu sedikitpun.”
  2. Menyembunyikan amal. Sembunyikan amal seperti menyembunyikan keburukan, seperti perkataan Bisyr Ibnul Harits berkata, “Jangan kau beramal supaya dikenang. Sembunyikanlah kebaikanmu seperti kamu menyembunyikan kejelekanmu.”
  3. Memperhatikan amalan mereka yang lebih baik. Bacalah biografi-biografi dari para shahabat, tabi’in serta orang-orang terdahulu, sebagai suri teladan dalam beramal. Karena hidup di jaman sekarang ini terkadang dari penampakan terlihat bagus dan banyak yang meneladani, namun ternyata amalan-amalan bid’ah yang dilakukannya. Na’udzubillahi min dzalik
  4. Memandang remeh apa yang telah diamalkan. Terkadang manusia terjebak dengan godaan setan, yaitu melakukan sedikit amal dan merasa kagum dengan sedikit amal tersebut. Dan akibatnya bisa fatal, karena bisa jadi satu amal kebaikan bisa memasukkan manusia ke neraka. Seperti perkataan Sa’d bin Jubair, “Ada seseorang yang masuk surga karena sebuah kemaksiatan yang dilakukannya dan ada yang masuk neraka karena sebuah kebaikan yang dilakukannya. Seseorang yang melakukan maksiat setelah itu ia takut dan cemas terhadap siksa Allah karena dosanya, kemudian menghadap Allah dan Allah mengampuninya karena rasa takutnya kepada-Nya dan seseorang berbuat suatu kebaikan lalu ia senantiasa mengaguminya kemudian ia pun menghadap Allah dengan sikapnya itu maka Allah pun mencampakkannya ke dalam neraka.
  5. Khawatir kalau-kalau amalnya tidak diterima. Poin ini berkaitan dengan poin sebelumnya, bahwa lebih baik menganggap remeh amal yang telah diperbuat agar dapat menjaga hati ini dari rasa kagum terhadap amal yang telah diperbuat.
  6. Tidak terpengaruh dengan ucapan orang. Orang yang mendapat taufik adalah orang yang tidak terpengaruh dengan pujian orang. Ibnul Jauzy (Shaidul Khaathir) berkata, “Bersikap acuh terhadap orang lain serta menghapus pengaruh dari hati mereka dengan tetap beramal shaleh disertai niat yang ikhlas dengan berusaha untuk menutup-nutupinya adalah sebab utama yang mengangkat kedudukan orang-orang yang mulia.”
  7. Senantiasa ingat bahwa surga dan neraka bukan milik manusia. Manusia tidak dapat memberikan manfaat maupun menimpakan bencana kepada manusia, begitu pula manusia bukanlah pemilik surga maupun neraka. Manusia tidak bisa memasukkan manusia lain ke surga dan mengeluarkan manusia lain keluar dari neraka,lantas untuk apalagi beramal demi manusia, agar dipuji atasan, agar disanjung mertua, atau agar datang simpati dari manusia lain?
  8. Ingatlah bahwa Anda akan berada dalam kubur sendirian. Jiwa akan menjadi lebih baik tatkala ingat tempat ia kembali. Bahwa ia akan beralaskan tanah dikuburnya sendiri, tak ada yang menemani, ingat bahwa manusia tidak dapat meringankan siksa kuburnya, seluruh urusannya berada ditangan Allah. Ketika itulah ia yakin bahwa tidak ada yang dapat menyelamatkannya kecuali dengan mengikhlaskan seluruh amalnya hanya kepada Allah Yang Maha Pencipta semata.
Semoga kita senantiasa diberikan kemudahan oleh Allah untuk mengamalkan ilmu dengan disertai keikhlasan dalam mengamalkannya tersebut. Ingatlah bahwa hanya Allah yang dapat membolak-balikkan hati hamba-Nya.
Disusun ulang oleh: Ummu Hamzah Galuh Pramita Sari
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar
Rujukan:
Ikhlas Syarat Diterimanya Ibadah, penerbit Pustaka Ibnu Katsir
Langkah Pasti Menuju Bahagia, penerbit Daar An Naba’
Sucikan Iman Anda dari Noda Syirik dan Penyimpangan, penerbit Putaka Muslim