Monday, July 18, 2011

Orang Tua Yang Kesepian

Suatu hari salah seorang sahabat saya pergi ke rumah orang jompo atau lebih terkenal dengan sebutan panti werdha bersama dengan teman-temannya. Kebiasaan ini mereka lakukan untuk lebih banyak mengenal bahwa akan lebih membahagiakan kalau kita bisa berbagi pada orang-orang yang kesepian dalam hidupnya.
Ketika sahabat saya sedang berbicara dengan beberapa ibu-ibu tua, tiba-tiba mata sahabat saya tertuju pada seorang kakek tua yang duduk menyendiri sambil menatap ke depan dengan tatapan kosong. Lalu sahabat saya mencoba mendekati kakek itu dan mencoba mengajaknya berbicara. Perlahan tapi pasti sang kakek akhirnya mau mengobrol dengannya sampai akhirnya si kakek menceritakan kisah hidupnya.
Si kakek memulai cerita tentang hidupnya sambil menghela napas panjang.

Sejak masa muda saya menghabiskan waktu saya untuk terus mencari usaha yang baik untuk keluarga saya, khususnya untuk anak-anak yang sangat saya cintai. Sampai akhirnya saya mencapai puncaknya dimana kami bisa tinggal di rumah yang sangat besar dengan segala fasilitas yang sangat bagus. Demikian pula dengan anak-anak saya, mereka semua berhasil sekolah sampai keluar negeri dengan biaya yang tidak pernah saya batasi. Akhirnya mereka semua berhasil dalam sekolah juga dalam usahanya dan juga dalam berkeluarga.
Tibalah dimana kami sebagai orangtua merasa sudah saatnya pensiun dan menuai hasil panen kami. Tiba-tiba isteri tercinta saya yang selalu setia menemani saya dari sejak saya memulai kehidupan ini meninggal dunia karena sakit yang sangat mendadak. Lalu sejak kematian istri saya tinggallah saya hanya dengan para pembantu kami karena anak-anak kami semua tidak ada yg mau menemani saya karena mereka sudah mempunyai rumah yang juga besar.
Hidup saya rasanya hilang, tiada lagi orang yang mau menemani saya setiap saat saya memerlukannya. Tidak sebulan sekali anak-anak mau menjenguk saya ataupun memberi kabar melalui telepon. Lalu tiba-tiba anak sulung saya datang dan mengatakan kalau dia akan menjual rumah karena selain tidak effisien juga toh saya dapat ikut tinggal dengannya. Dengan hati yang berbunga saya menyetujuinya karena toh saya juga tidak memerlukan rumah besar lagi tapi tanpa ada orang-orang yang saya kasihi di dalamnya.
Setelah itu saya ikut dengan anak saya yang sulung. Tapi apa yang saya dapatkan? Setiap hari mereka sibuk sendiri-sendiri dan kalaupun mereka ada di rumah tak pernah sekalipun mereka mau menyapa saya. Semua keperluan saya pembantu yang memberi. Untunglah saya selalu hidup teratur dari muda maka meskipun sudah tua saya tidak pernah sakit-sakitan. Lalu saya tinggal di rumah anak saya yang lain. Saya berharap kalau saya akan mendapatkan sukacita di dalamnya, tapi rupanya tidak. Yang lebih menyakitkan semua alat-alat untuk saya pakai mereka ganti, mereka menyediakan semua peralatan dari kayu dengan alasan untuk keselamatan saya tapi sebetulnya mereka sayang dan takut kalau saya memecahkan alat-alat mereka yang mahal-mahal itu.
Setiap hari saya makan dan minum dari alat-alat kayu atau plastik yang sama dengan yang mereka sediakan untuk para pembantu dan anjing mereka. Setiap hari saya makan dan minum sambil mengucurkan airmata dan bertanya di manakah hati nurani mereka?
Akhirnya saya tinggal dengan anak saya yang terkecil, anak yang dulu sangat saya kasihi melebihi yang lain karena dia dulu adalah seorang anak yang sangat memberikan kesukacitaan pada kami semua. Tapi apa yang saya dapatkan? Setelah beberapa lama saya tinggal disana akhirnya anak saya dan istrinya mendatangi saya lalu mengatakan bahwa mereka akan mengirim saya untuk tinggal di panti jompo dengan alasan supaya saya punya teman untuk berkumpul dan juga mereka berjanji akan selalu mengunjungi saya.
Sekarang sudah 2 tahun saya disini tapi tidak sekalipun dari mereka yang datang untuk mengunjungi saya apalagi membawakan makanan kesukaan saya. Hilanglah semua harapan saya tentang anak-anak yang saya besarkan dengan segala kasih sayang dan kucuran keringat. Saya bertanya-tanya mengapa kehidupan hari tua saya demikian menyedihkan padahal saya bukanlah orangtua yang menyusahkan, semua harta saya mereka ambil. Saya hanya minta sedikit perhatian dari mereka tapi mereka sibuk dengan diri sendiri. Kadang saya menyesali diri mengapa saya bisa mendapatkan anak-anak yang demikian buruk. Masih untung disini saya punya banyak sahabat dan juga kunjungan dari sahabat-sahabat yang mengasihi saya tapi tetap saya merindukan anak-anak saya.
Sejak itu sahabat saya selalu menyempatkan diri untuk datang kesana dan berbicara dengan sang kakek. Lambat laun tapi pasti kesepian di mata sang kakek berganti dengan keceriaan apalagi kalau sekali-sekali sahabat saya membawa serta anak-anaknya untuk berkunjung.
Sampai hatikah kita membiarkan para orangtua kesepian dan menyesali hidupnya hanya karena semua kesibukan hidup kita. Bukankah suatu haripun kita akan sama dengan mereka, tua dan kesepian?
When is the last time you chat to your parent? THEY NEED YOU!

Sedekah Yang Paling Afdhol

Dalam sebuah hadits terdapat penjelasan Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam mengenai aktifitas bersedekah yang paling utama alias afdhol.

Tidak semua bentuk bersedekah bernilai afdhol. Bagi orang yang berusia muda dan sedang energik tentunya bersedekah memiliki nilai lebih tinggi di sisi Allah daripada bersedekahnya seorang yang telah lanjut usia, sakit-sakitan, dan sudah menjelang meninggal dunia.

Untuk itulah Nabi shollallahu ’alaih wa sallam memberikan gambaran kepada ummatnya mengenai sedekah yang paling afdhol.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَجُلٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ قَالَ أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ حَرِيصٌ

تَأْمُلُ الْغِنَى وَتَخْشَى الْفَقْرَ وَلَا تُمْهِلْ حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ الْحُلْقُومَ

قُلْتَ لِفُلَانٍ كَذَا وَلِفُلَانٍ كَذَا وَقَدْ كَانَ لِفُلَانٍ

“Seseorang bertanya kepada Nabi shollallahu ’alaih wa sallam: “Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling afdhol?” Beliau menjawab: “Kau bersedekah ketika kau masih dalam keadaan sehat lagi loba, kau sangat ingin menjadi kaya, dan khawatir miskin. Jangan kau tunda hingga ruh sudah sampai di kerongkongan, kau baru berpesan :”Untuk si fulan sekian, dan untuk si fulan sekian.” Padahal harta itu sudah menjadi hak si fulan (ahli waris).” (HR Bukhary)

Coba lihat betapa detilnya Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menggambarkan ciri orang yang paling afdhol dalam bersedekah. Sekurangnya kita temukan ada empat kriteria: (1) Dalam keadaan sehat lagi loba alias berambisi mengejar keuntungan duniawi; (2) dalam keadaan sangat ingin menjadi kaya; (3) dalam keadaan sangat khawatir menjadi miskin dan (4) tidak dalam keadaan sudah menjelang meninggal dunia dan bersiap-siap membuat aneka wasiat soal harta yang bakal terpaksa ditinggalkannya.

Pertama, orang yang paling afdhol dalam bersedekah ialah orang yang dalam keadaan sehat lagi loba alias tamak alias berambisi sangat mengejar keuntungan duniawi.

Artinya, ia masih muda lagi masa depan hidupnya masih dihiasi aneka ambisi dan perencanaan untuk menjadi seorang yang sukses, mungkin dalam karirnya atau bisinisnya.

Dalam keadaan seperti ini biasanya seseorang akan merasakan kesulitan dan keengganan bersedekah karena segenap potensi harta yang ia miliki pastinya ingin ia pusatkan dan curahkan untuk modal menyukseskan berbagai perencanaan dan proyeknya.

Dengan dalih masih dalam tahap investasi, maka ia akan selalu menunda dan menunda niat bersedekahnya dari sebagian harta yang ia miliki. Karena setiap ia memiliki kelebihan harta sedikit saja, ia akan segera menyalurkannya ke pos investasinya.

Setiap uang yang ia miliki segera ia tanam ke dalam bisnisnya dan ia katakan ke dalam dirinya bahwa jika ia bersedekah dalam tahap tersebut maka sedekahnya akan terlalu sedikit, lebih baik ditunda bersedekah ketika nanti sudah sukses sehingga bisa bersedekah dalam jumlah ”signifikan” alias berjumlah banyak. Akhirnya ia tidak kunjung pernah mengeluarkan sedekah selama masih dalam masa investasi tersebut.

Kedua, bersedekah ketika dalam keadaan sedang sangat ingin menjadi kaya. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam seolah ingin menggambarkan bahwa orang yang dalam keadaan tidak ingin menjadi kaya berarti bersedekahnya kurang bernilai dibandingkan orang yang dalam keadaan berambisi menjadi kaya. Sebab bila seorang yang sedang berambisi menjadi kaya bersedekah berarti ia bukanlah tipe orang yang hanya ingin menikmati kekayaan untuk dirinya sendiri.

Ia sejak masih bercita-cita menjadi kaya sudah mengembangkan sifat dan karakter dermawan. Hal ini menunjukkan bahwa jika Allah izinkan dirinya benar-benar menjadi orang kaya, maka dalam kekayaan itu dia bakal selalu sadar ada hak kaum yang kurang bernasib baik yang perlu diperhatikan.

Sekaligus kebiasaan bersedekah yang dikembangkan sejak seseorang baru pada tahap awal merintis bisnisnya, maka hal itu mengindikasikan bahwa si pelaku bisnis itu sadar sekali bahwa rezeki yang ia peroleh seluruhnya berasal dari Yang Maha Pemberi Rezeki, Allah Ar-Razzaq.

Hal ini sangat berbeda dengan orang kaya dari kaum kafir seperti Qarun, misalnya. Qarun adalah tokoh kaya di zaman dahulu yang di dalam meraih keberhasilan bisnisnya menyangka bahwa kekayaan yang ia peroleh merupakan buah dari kepiawaiannya dalam berbisnis semata.

Ia tidak pernah mengkaitkan kesuksesan dirinya dengan Yang Maha Pemberi Rezeki, Allah swt.

قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِ

“Qarun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku".(QS Al-Qshshash ayat 78)

Ketiga, sedekah menjadi afdhol bila si pemberi sedekah berada dalam keadaan khawatir menjadi miskin. Walaupun ia dalam keadaan khawatir menjadi miskin, namun hal ini tidak mempengaruhi dirinya. Ia tetap berkeyakinan bahwa bersedekah dalam keadaan seperti itu merupakan bukti ke-tawakkal-annya kepada Allah.

Ia sadar bahwa jika Allah kehendaki, maka mungkin sekali dirinya menjadi kaya atau menjadi miskin. Itu terserah Allah. Yang pasti keadaan apapun yang dialaminya tidak mempengaruhi sedikitpun kebiasaannya bersedekah.

Ia sudah menjadikan bersedekah sebagai salah satu karakter penting di dalam keseluruhan sifat dirinya. Persis gambarannya seperti orang bertaqwa di dalam Al-Qur’an:

أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ

”... yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit.” (QS Ali Imran ayat 133-134)

Keempat, Nabi shollallahu ’alaih wa sallam sangat mewanti-wanti agar jangan sampai seseorang baru berfikir untuk bersedekah ketika ajal sudah menjelang. Sehingga digambarkan oleh beliau bahwa orang itu kemudian baru menyuruh seorang pencatat menginventarisasi siapa-siapa saja fihak yang berhak menerima harta miliknya yang hendak disedekahkan alias diwasiatkan.

Ini bukanlah bentuk bersedekah yang afdhol. Sebab pada hakikatnya, seorang yang bersedekah ketika ajal sudah menjelang, berarti ia melakukannya dalam keadaan sudah dipaksa oleh keadaan dirinya yang sudah tidak punya pilihan lain.

Bila seseorang bersedekah dalam keadaan ia bebas memilih antara mengeluarkan sedekah atau tidak, berarti ia lebih bermakna daripada seseorang yang bersedekah ketika tidak ada pilihan lainnya kecuali harus bersedekah.

Itulah sebabnya Nabi shollallahu ’alaih wa sallam lebih menghargai orang yang masih muda lagi sehat bersedekah daripada orang yang sudah tua dan menjelang ajal baru berfikir untuk bersedekah.

Ya Allah, masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang senantiasa bersedekah yang paling afdhol. Terimalah, ya Allah, segenap infaq dan sedekah kami di jalanMu. Amin.-

HIDUP DAMAI dengan PUASA

Sahabat Hikmah... 
Kedamaian hanya didapat dengan menjadi orang yang bertaqwa. Dan ketaqwaan akan didapat dengan berpuasa di bulan Ramadhan. Allah Subhanahu wa Ta’aa  menetapkan dalam Al-Quran:

“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,”(QS al-Baqarah [2]: 183).

Secara sederhana, taqwa didefinisikan sebagai perasaan takut kepada Allah Swt. Rasa takut ini kemudian terejawantahkan dengan mengerjakan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya.
Karena itu, bisa ditegaskan bahwa ciri atau indikator umum dari orang yang bertakwa bisa diamati dari sikap dan perilakakunya, yaitu meninggalkan segala larangan-Nya dan melaksanakan semua perintah-Nya. 

Dan lebih spesifik sifat orang orang yang bertaqwa dan ciri-cirinya dijelaskan oleh Allah SWT dalam Al Quran Surat Ali Imran ayat 133-136 :
  1. Orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit,
  2. Orang-orang yang menahan amarahnya,
  3. Orang-orang yang mema`afkan (kesalahan) orang lain,
  4. Orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri (berbuat dosa), mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosanya itu, sedang mereka mengetahui.

Ciri-ciri tersebut di atas merupakan wujud lahir ketakwaan seseorang dan merupakan wujud KEDAMAIAN seseorang.

1. Orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit,
Sifat suka berinfaq akan melahirkan sifat empati dan kepedulian. Bergetar jiwanya kalau melihat penderitaan orang lain, dan tidak ada kata berpangku tangan melihat sesama saudaranya menderita/teraniaya, walaupun harta mereka pun  ‘sempit’ untuk memenhi kebutuhannya . Mereka berbuat demikian karena sudah terbiasa berpuasa, merasakan lapar dan haus sepanjang hari.

"Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah SWT akan menutupi aibnya di dunia maupun di akhirat. Barangsiapa yang menghilangkan sebagian kesulitan seseorang, niscaya Allah akan menghilangkan baginya kesulitan dunia dan akhirat. Dan barangsiapa yang selalu menolong kebutuhan saudaranya, niscaya Allah akan menolong kebutuhannya.” (HR. Muslim dan Tirmidzi.)

Tiada kedamaian jiwa dan kebahagiaan yang lebih kecuali kita bisa membahagiakan orang lain, sehingga orang lain yang ada disekelilingnya pasti akan merasakan kebahagiaan pula dekat dengannya dan akan membantunya bila ditimpa kesusahan, saling tolong-menolong seperti satu tubuh yang satu.

2. Orang-orang yang menahan amarahnya.
Marah itu menguras energi dan membuat hati tidak tenang dan akan menyesal sesudahnya. Orang yang mudah marah juga akan mempunyai teman yang sedikit dan dijauhi teman-temannya . Rasulullah SAW bersabda tentang marah: 

"Sesungguhnya marah itu berasal dari syetan, dan sesungguhnya syetan itu diciptakan dari api, sedangkan api hanya bisa dipadamkan dengan air. Oleh karena itu, apabila seseorang dari kalian marah, maka hendaklah ia berwudhu " (HR Abu Dawud).

Dengan terbiasa berpuasa dengan benar, maka dia akan mudah menahan amarahnya.

3. Orang-orang yang mema`afkan (kesalahan) orang lain.
Orang yang pendendam hatinya tidak akan menemukan kedamaian, dan dia hanya akan menumpuk kemarahan dan musuh. Orang yang mudah memaafkan akan damai karena semua masalah dianggap tidak ada masalah dan dia tidak menyimpan masalah berlama-lama karena cepat memaafkannya. Dan orang demikian akan menjadikan dia mempuanyai teman baik yang banyak.

Memaafkan butuh kematangan diri dan kecakapan spiritual. Kematangan diri hanya bisa didapatkan melalui keterbukaan hati dan pikiran akan segala pengalaman hidup yang dialami. Sementara kecakapan spiritual hanya bisa diperoleh ketika telah memiliki rasa penghambaan yang  tinggi hanya kepada Allah SWT semata. Dan itu semua dapat dicapai dengan berpuasa selama sebulan penuh di bulan Ramadhan dengan benar. Bukan hanya memaafkan, bahkan orang yang bertaqwa akan membalas kejahatan dengan kebaikan karena Allah SWT.

    ''Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu)   dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan   antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat  setia.'' (QS Fushshilat [41]: 34).

4. Orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri (berbuat dosa), mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosanya itu, sedang mereka mengetahui.

Orang yang bertaqwa bukan berarti tidak pernah berbuat dosa, karena manusia itu tempat lupa dan salah. Sehingga orang yang bertaqwa apabila berbuat dosa, dia ingat Allah Yang Maha Melihat, Maha Pengampun dan Yang Maha Keras Siksanya, sehingga dia mohon Ampun kepada Allah dan tidak terus menerus dalam perbuatan  dosa tersebut.

Orang yang berpuasa sudah dididik untuk meninggalkan yang halal pada bulan-bulan lain tetapi di bulan Ramadhan diharamkan pada siang harinya yaitu makan, minum dan berhubungan dengan suami/isteri. Sehingga dengan sesuatu yang diharamkan Allah SWT, niscaya akan selalu menjauhinya. Sehingga orang yang bertaqwa adalah mereka yang tidak menumpuk-numpuk dosa dan kesalahan, sehingga jiwanya damai.

Sebaliknya orang yang banyak berbuat maksiat dan dosa, mereka akan selalu merasa gundah dan gelisah dan mempunyai penghidupan yang sempit.

“Dan Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan buta". (QS Thaha : 124)

Orang yang banyak berdosa dan tidak cepat memohon ampunan Allah serta tidak berhenti dari perbuatan dosa juga akan merasakan  keterasingan dan kesenjangan dari Allah SWT. Keterasingan ini menghilangkan kenikmatan dan kebahagiaan dalam hidup. Harta dan anak tidak lagi menjadi nikmat. Kemapanan materi tidak bisa mengalahkan besarnya derita yang timbulkan karena rasa keterasingan dari Allah SWT. tersebut. Rasa keterasingan ini memiliki beberapa dampak diantaranya:
  1. Hilangnya rasa percaya terhadap janji Allah SWT, sehingga semakin senang berbuat dosa dan malas berbuat kebaikan dan beribadah.
  2. Tidak bisa husnuzhan dengan Allah SWT, sehingga selalu berpikir negative kepada Allah dan kepada orang lain. Padahal kedamaian akan didapat bila kita selalu berpikr positif.

Sahabat Hikmah...
Semoga puasa Ramadhan nanti menjadi UNIVERSITAS KEHIDUPAN kita, sehingga kita layak mendapatkan IJAZAH TAQWA dan akan menjadikan hidup kita DAMAI di dunia dan akhirat. Aamiin Yaa Rabbal’aalamiin.